Masa-Masa Penting Pertumbuhan Anak

Anak adalah aset bagi orang tua dan di tangan orangtualah anak-anak tumbuh dan menemukan jalan-jalannya. Saat si kecil tumbuh dan berkembang, ia begitu lincah dan memikat. Anda begitu mencintai dan bangga kepadanya. Namun mungkin banyak dari kita para orangtua yang belum menyadari bahwa sesungguhnya dalam diri si kecil terjadi perkembangan potensi yang kelak akan berharga sebagai sumber daya manusia.

Dalam lima tahun pertama yang disebut eThe Golden Yearsf , seorang anak mempunyai potensi yang sangat besar untuk berkembang. Pada usia ini 90% dari fisik otak anak sudah terbentuk. Karena itu, di masa-masa inilah anak-anak seyogyanya mulai diarahkan. Karena saat-saat keemasan ini tidak akan terjadi dua kali, sebagai orang tua yang proaktif kita harus memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan sang buah hati, amanah Allah.

Urgensi mendidik anak sejak dini juga banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits antara lain :

@

1. Terjemahan QS. At Tahrim (66) ayat 6

“Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang…”

Memelihara, menurut sayyidina Ali: didik dan ajarilah, sedangkan menurut sayyidina Umar: melarang mereka dari apa yang dilarang Allah dan memerintahkan mereka apayang diperintahkan Allah.

2. Terjemahan Al Hadits

“Setiap yang dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.

Hadits: seorang bayi mengencingi Rasulullah.

Di dalam buku “Pendidikan Anak Dalam Islam” karangan Abdullah Nashih Ulwan disebutkan bahwa Rasulullah SAW sangat memperhatikan tentang 7 (tujuh) segi dalam mendidik anak, yaitu :

1. Segi Keimanan

– menanamkan prinsip ketauhidan, mengokohkan fondasiiman ;

– mencari teman yang baik ;

– memperhatikan kegiatan anak.

2. Segi Moral

– kejujuran, tidak munafik ;

– menjaga lisan dan berakhlak mulia

3. Segi Mental dan Intelektual

– mempelajari fardhu ‘ain dan fardhu kifayah ;

– mempelajari sejarah Islam ;

– menyenangi bacaan bermutu yang dapat meningkatkan kualitas diri ;

– menjaga diri dari hal-hal yang merusak jiwa dan akal

4. Segi Jasmani

– diberi nafkah wajib, kebutuhan dasar anak seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan, pakaian danpendidikan ;

– latihan jasmani, berolahraga, menunggang kuda, berenang, memanah, dll ;

– menghindarkan dari kebiasaan yang merusak jasmani

5. Segi Psikologis

– gejala malu, takut, minder, manja, egois dan pemarah

6. Segi Sosial

– menunaikan hak orang lain dan setiap yang berhak dalam kehidupan ;

– etika sosial anak

7. Segi Spiritual

– Allah selamanya mendengar bisikan dan pembicaraan, melihat setiap gerak-geriknya dan mengetahui apa yang dirahasiakan ;

– memperhatikan khusu’, taqwa dan ibadah

Jika begitu banyak yang harus kita ajarkan pada anak, kapan waktu terbaik untuk memulai pendidikan kepadabuah hati ?

Simaklah beberapa hasil penelitian baru berikut ini :

1. Fakta tentang otak :

a. Saat lahir, bayi punya 100 miliar sel otak yang belum tersambung. Pada usia 0-3 tahun terdapat 1000 triliun koneksi (sambungan antarsel). Pada saat inilah anak-anak bisa mulai diperkenalkan berbagai hal dengan cara mengulang-ulang :

– memperdengarkan bacaan Al Qur’ an ;

– Bahasa Asing seperti bahasa Inggris ;

– memperkenalkan nama-nama benda dengan cara bermaindan menunjukkan gambar ;

– memperkenalkan warna dengan menunjukkan kepadanya dalam bentuk benda yang dia kenal, warna-warna cerah di kamarnya dan gambar ;

– memperkenalkan aroma buah melalui buku ;

– membacakan cerita atau dongeng

Pada usia 6 tahun, koneksi yang terus diulang (mengalami pengulangan – pengulangan) akan

menjadi permanen. Sedangkan koneksi yang tidak digunakan akan dipangkas alias dibuang.

Oleh karenanya, usia sebelum 6 tahun adalah saat yang tepat untuk mengoptimalkan daya

serap otak anak agar tidak terpangkas percuma.

b. Otak yang belum matang rentan terhadap trauma, baik terhadap ucapan yang keras maupun tindakan yang menyakitkan. Susunan otak terbentuk dari pengalaman. Jika pengalaman anak takut dan stress, maka respons otak terhadap dua hal itulah yang akan menjadi arsitek otak sehingga dapat merubah struktur fisik otak. Itulah mengapa kita harus menghindarkan diri dari memarahi anak atau memukulnya. Jika anak kita melakukan kesalahan atau melakukan sesuatu yang tidak sopan, sebaiknyalah kita mulai mengajarkannya mana yang betul dan sopan santun dengan cara yang arif serta penuh kesabaran. Kita dapat mencontoh bagaimana Rasulullah saw. bersikap sangat penuh kasih sayang terhadap anak-anak.

c. Otak terdiri dari dua belahan yaitu kanan dan kiri yang memiliki fungsi yang berbeda namun saling mendukung.

– Pekerjaan otak kiri berhubungan dengan fungsi verbal, temporal, logis, analitis, rasional serta kegiatan berpola.

– Pekerjaan otak kanan berhubungan dengan fungsi kreatif dan kemampuan bekerja dengan gambaran (visual) dan berfikir intuitif, abstrak dan non-verbal serta kemampuan taktil/motorik halus pada tangan, termasuk pembentukan akhlak dan moral.

Sistem pendidikan kita maupun ilmu pengetahuan pada umumnya cenderung kurang memperhatikan kepandaian yang tak terucapkan. Jadi, masyarakat modern cenderung menganaktirikan belahan otak kanan.

Menurut Bob Eberle, seorang ahli pendidikan, “prestasi pikiran manusia memerlukan kerja yang terpadu antara belahan kiri dan otak kanan”. Kalau tujuan kita adalah mengembangkan pribadi yang sehat dan jika kita ingin menumbuhkan kreativitas secara penuh, maka diperlukan pengajaran untuk menuju keseimbangan antara fungsi kedua belahan otak itu.

2. Fakta tentang stress

a. Anak yang mengalami stress pada usia kritis 0-3 tahun akan menjadi anak yang hiperaktif, cemas danbertingkah laku seenaknya.

b. Anak dari lingkungan stress tinggi mengalami kesulitan konsentrasi dan kendali diri.

c. Cara orang tua berinteraksi dengan anak di awal kehidupan akan membuat dampak pada perkembangan emosional, kemampuan belajar dan bagaimana berfungsi di kehidupan yang akan datang.

3. Ciri-ciri anak pada milenium kedua :

– mampu berpikir cepat ;

– mampu beradaptasi dengan cepat dan benar ;

– memiliki keimanan kuat sebagai filter ;

– menguasai bahasa dunia ;

– mampu menyelesaikan masalah dengan cepat ;

– orang tua mempunyai 7 kebiasaan efektif.

Dilihat dari berbagai hasil penelitian di atas dapat diperoleh gambaran tentang waktu terbaik dalam memulai mendidik anak yaitu sedini mungkin. Juga bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi anak agar otaknya tidak mengalami trauma, serta dapat lebih meyakinkan kita lagi sebagai orang tua untuk terus menerus menambah ilmu agar dapat membantu anak mengembangkan potensi dirinya secara maksimal.

Satu pesan sederhana dalam mendidik anak, yang mungkin belum kita sadari sepenuhnya. Betapa banyak yang dapat kita ajarkan kepada anak kita tiap hari, hanya dengan berada di dekatnya. Dengan mengasuh, bermain dan bercakap-cakap dengan bayi kita yang mungil, kita bisa menjadi guru pertama bagi si kecil. Jangan lupa anak tumbuh dan berkembang sangat pesat, pakailah prinsip e it’s now or never e (kalau tidak sekarang berarti tidak sama sekali) dalam mendidik anak.

Wallahu a’lam bi showwab.
Ya Allah berikanlah berkat dan kemampuan kepada kami untuk mendidik, merawat dan mengasuh anak-anak kami. Amiin.

Disampaikan pada

SEMINAR HARI ANAK NASIONAL
Jumat 28 Juli 2000
Auditorium Gedung B Lantai 2, Departemen Keuangan.
Jalan DR. Wahidin, Jakarta Pusat.

Semua orang tua menginginkan anaknya untuk menjadi orang yang penuh percaya diri, sukses, serta bisa mencapai kebahagiaan dan cita-cita dalam hidupnya. Untuk merealisasikan hal ini, mustahil kita selaku orang tua hanya berpangku tangan saja menunggu sampai saat itu tiba. Orang tua harus membantu anak-anaknya untuk bisa mencapai semua itu.

Lima hal fundamental yang harus ditanamkan oleh orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak-anaknya :

  1. Kepercayaan Percaya pada orang lain adalah hal yang paling mendasar bagi seorang anak agar nantinya ia dapat membina hubungan dengan orang lain, membentuk rasa percaya dirinya, dan maju dalam setiap tahap proses perkembangannya, oleh karena itu harus ditanamkan sejak anak lahir. Dimulai dengan rasa percaya pada orang tuanya, yang dapat tumbuh dalam diri anak jika ia selalu merasa aman setiap kita berinteraksi dengannya, menyusuinya ketika ia lapar, menggantikan popoknya saat kotor, memeluk saat ia membutuhkannya, atau hanya dengan menatap matanya. Seiring dengan itu pula, ia mulai belajar untuk menumbuhkan rasa percaya pada orang lain dan dirinya sendiri. Setiap anak akan menunjukkan perilaku yang berlainan agar mereka diperhatikan orang tuanya. Terbiasalah akan hal ini, pahami apa yang anak butuhkan saat itu, dan penuhilah segera. Semakin anak mengerti bahwa kita memahaminya, semakin tinggi tingkat kepercayaannya pada kita.
  2. Kesabaran Anda dapat menanamkan kesabaran pada diri anak dengan cara memberi contoh melakukan sesuatu yang membutuhkan kesabaran, karena anak memiliki perilaku untuk meniru orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia melihat, kemudian ia melakukannya. Membanting pintu saat Anda menutupnya sepulang bekerja karena kepenatan dan kemacetan lalu lintas, merupakan contoh yang sangat buruk bagi seorang anak. Tetapi membantu anak membersihkan susu yang ia tumpahkan ke lantai memberikan penglihatan yang lain bagi dirinya. Untuk melatih kesabaran anak, ajarilah dia untuk menunggu bukan dalam hitungan waktu, tapi dengan ukuran suatu keadaan. Jika anak menginginkan Anda untuk mengambilkan sesuatu yang tidak dapat ia jangkau padahal Anda sedang mengerjakan sesuatu, memasak misalnya, katakan padanya bahwa Anda akan mengambilkan apa yang ia inginkan jika Anda telah selesai memasak, daripada Anda mengatakan, “Iya, tunggu lima menit lagi”. Melalui hal ini, anak akan menilai sendiri berapa lama ia akan mendapatkan keinginannya dengan menunggu dan memperhatikan kapan Anda selesai memasak.
  3. Tanggung jawab Jika kita ingin sukses, banyak komitmen yang harus kita buat dan kita laksanakan dengan konsisten. Saat anak Anda menjatuhkan botol susunya ke lantai dan melihat Anda mengambilkan botol susu itu untuknya, ia akan mengulanginya kembali dengan sengaja. Hal ini menandakan bahwa ia mulai mengenal hubungan sebab akibat dan belajar bahwa ada konsekuensi dari apa yang dilakukannya. Ini adalah saat dimana Anda dapat mulai melatih rasa tanggung jawab anak dengan memintanya melakukan hal-hal yang mudah, seperti mengembalikan mainan pada tempatnya. Agar anak juga tahu mengapa ia melakukan hal itu, Anda harus memberitahukan maksud dari sesuatu yang Anda ingin ia lakukan. Selaras dengan pertumbuhan dan perkembangannya, anak membutuhkan waktu untuk memahami kemudian melakukan sesuatu yang Anda minta dalam rangka mendidiknya untuk mempunyai rasa tanggung jawab. Oleh karena itu orang tua tidak dapat memaksakan atau sekaligus menanamkan begitu banyak tanggung jawab pada seorang anak.
  4. Kemandirian Kemandirian akan membantu anak Anda untuk mempunyai rasa percaya diri dalam menginginkan dan memutuskan sesuatu bagi dirinya. Anda dapat menumbuhkan kemandirian pada anak dengan cara membiarkannya melakukan sesuatu yang dapat dilakukan oleh anak seusianya. Saat anak berusia 1 tahun, ajari dia makan sendiri menggunakan sendok, satu tahun berikutnya ajari dia berpakaian sendiri. Buatlah menjadi lebih mudah sesuatu yang dapat ia lakukan sendiri, seperti membelikannya sepatu tanpa tali pengikat, atau kaos yang agak longgar sehingga ia dapat mengenakannya sendiri. Namun saat anak membutuhkan bantuan Anda, berikan kepastian bahwa Anda akan membantunya. Angkatlah ia supaya dapat mengambil mainan yang diinginkannya, saat ia tidak dapat menjangkaunya. Sesuai dengan pertambahan usianya, buatlah situasi dimana ia harus memilih satu dari beberapa pilihan. Kunci keberhasilan untuk menumbuhkan kemandirian pada anak adalah fleksibilitas, menyesuaikan perilaku saat kita berinteraksi dengan sang anak. Arahkan mereka hanya pada awalnya, kemudian biarkan mereka melakukan dan memutuskan sendiri sesuatu sesuai dengan proses berkembang mereka menjadi dewasa. Jika orang tua mengintervensi terlalu banyak, anak akan sulit menumbuhkan rasa percaya diri akan kemampuannya sendiri dan ia tidak dapat belajar untuk bertahan saat ia menghadapi kesulitan.
  5. Empati

Seorang anak terkadang menunjukkan bentuk primitif dari sikap empati, misalnya dengan menangis saat melihat ibunya sedang menangis. Sebenarnya seorang anak belum mengerti akan perasaan orang lain sebelum usianya mencapai 3-6 tahun. Seorang anak yang berumur 2 tahun tidak akan tahu bahwa dengan menggigit lengan kakaknya berarti ia telah menyakitinya, karena pada saat itu ia sendiri tidak merasakan sakit. Untuk membantu anak memiliki rasa empati, orang tua harus memberitahukan pada anak saat ia melakukan sesuatu yang dapat menyakiti, membuat sedih atau marah orang lain. Katakan padanya, bagaimana jika hal yang sama dilakukan pada dirinya. Katakanlah hal ini berulang-ulang, karena seorang anak umumnya mempunyai sifat egosentris, ia tidak akan memikirkan sesuatu yang tidak langsung ia rasakan. Pada dasarnya orang tua harus memberi contoh dengan melakukan segala hal yang mereka ingin anak-anak lakukan terhadap orang lain, maksudnya adalah dengan memberikan perhatian pada setiap kebutuhan mereka serta menghargai perasaan mereka, karena sikap empati adalah kunci untuk menuju keberhasilan seseorang dalam bersosialisasi.

BEBERAPA KESALAHAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah y, beserta para keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tetap istiqomah menegakkan risalah yang dibawanya hingga akhir zaman.

Keluarga (disamping sekolah dan masyarakat) memegang peranan penting dalam pendidikan anak. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam fase pertumbuhannya, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia pra-sekolah). Pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya.

Para ulama Islam banyak memberikan perhatian dan membahas tentang pentingnya pendidikan melalui keluarga. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan anak mengatakan: “Ketahuilah, bahwa anak merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan, dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dan akhirat, juga setiap pendidik dan gurunya. Tetapi, jika dibiasakan dengan kejelekan dan dibiarkan tidak didik sebagaimana binatang ternak, niscaya dia akan menjadi jahat dan binasa”.

Dalam melaksanakan tugas mendidik anak, orang tua harus membekali dirinya dengan pengetahuan dan kearifan. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari kesalahan dan penyimpangan dalam melaksanakan tugas mulia tersebut.
Berikut ini sebagian kesalahan yang sering dilakukan oleh para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Semoga Allah lmemberikan maunah (pertolongan)-Nya kepada kita untuk dapat menjauhinya dan menunjukkan kita kepada kebenaran.

1. Ucapan orang tua tidak sesuai dengan perbuatan.

Ini merupakan kesalahan terpenting, karena anak belajar dari orang tua banyak hal, tetapi ternyata sering bertentangan dengan apa yang telah diajarkannya. Tindakan ini berpengaruh buruk terhadap mental dan perilaku anak. Allah k mencela perbuatan ini dengan firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. (QS. 61:3)

Bagaimana anak akan belajar kejujuran kalau ia mengetahui orang tuanya berdusta? Bagaimana anak akan belajar sifat amanah, sementara ia melihat bapaknya menipu? Bagaimana anak akan belajar akhlak baik bila orang sekitarnya suka mengejek, berkata jelek dan berakhlak buruk?
Untuk itu sifat ini harus dihindari oleh para orang tua dan para pendidik.

2. Kedua orangtua tidak sepakat atas cara tertentu dalam pendidikan anak.

Kadangkala seorang anak melakukan perbuatan tertentu di hadapan kedua orang tuanya, pada saat itu sang ibu memuji dan mendorong sedang sang bapak memperingatkan dan mengancam. Anak akhirnya menjadi bingung, mana yang benar dan mana yang salah di antara keduanya. Hal ini sangat berbahaya, karena akan mengakibatkan anak menjadi bimbang dan segala urusan tidak jelas baginya.

3. Membiarkan anak menjadi korban televisi.

Media massa mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam perilaku dan perbuatan anak, dan media yang paling berbahaya adalah televisi. Hampir tidak ada rumah yang tidak mempunyai televisi. Padahal pengaruhnya demikian luas terhadap anak maupun orang dewasa.

Banyak orang tua yang tidak menaruh perhatian bahwa anak mereka kecanduan menonton televisi. Padahal ini sangat berpengaruh terhadap akhlak, fitrah dan pendidikan mereka. Plomery, seorang peneliti mengatakan: “Anak pada umumnya, dan kebanyakan orang dewasa, cenderung menerima, tanpa mempertanyakan , segala informasi yang tampil di film-film dan kelihatan realistis. Mereka dapat mengingat materinya dengan cara yang lebih baik … maka akal pikiran mereka menelan begitu saja nilai-nilai yang rendah itu..”.
Oleh karena itu, anak-anak harus dilindungi dan diawasi dari perangkat yang dapat merusak ini. Hal ini, tidak diragukan lagi, bukan sesuatu yang mudah tetapi juga tidak mustahil, jika orang tua mempunyai kemauan untuk menjaga akhlak anak-anak mereka dan mempersiapkannya untuk mengemban misi agama dan ummat.

4. Menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada pembantu atau pengasuh.

Kesalahan yang amat serius dan banyak terjadi di masyarakat kita adalah fenomena kesibukan ibu dari peran utamanya merawat rumah dan anak-anak dengan hal-hal yang tentunya tak kalah penting dari pendidikan anak. Misalnya, sibuk dengan karir di luar rumah, atau sering mengadakan kunjungan, menghadiri pertemuan, atau hanya karena malas-malasan dan tidak mau menangani langsung urusan anak dan menyerahkan anak dalam perawatan wanita lain seperti pembantu, atau membawanya ke tempat pengasuhan. Akibatnya anak akan kehilangan kasih sayang ibu yang sangat dibutuhkannya. Hal ini berbahaya sekali terhadap kejiwaan anak dan masa depannya, karena anak berkembang tanpa kasih sayang. Jika anak miskin kasih sayang, ia pun akan bertindak keras terhadap anggota masyarakatnya, akibatnya masyarakat hidup dalam kekacauan, keretakan dan kekerasan.

5. Orang tua menampakkan kelemahannya dalam mendidik anak.

Hal ini banyak terjadi pada ibu-ibu dan kadangkala terjadi pada bapak-bapak. Kita dapatkan, misalnya, seorang ibu berkata: “Anak ini mengesalkan. Aku tidak sanggup menghadapinya. Aku tak tahu, apa yang harus aku perbuat dengannya”. Padahal saat itu anak mendengarkan ucapan tersebut, maka anak pun merasa bangga dapat mengganggu ibunya dan membandel karena dapat menunjukkan keberadaannya dengan cara ini.

6. Berusaha mengekang anak secara berlebihan

Sebahagian orang tua tidak memberi kesempatan bermain, bercanda dan bergerak kepada anak. Ini bertentangan dengan tabiat anak dan bisa membahayakan kesehatannya, karena permainan penting bagi pertumbuhan anak. Permainan di tempat yang bebas dan luas termasuk faktor terpenting yang membantu pertumbuhan fisik anak dan menjaga kesehatannya. Maka seharusnya orang tua tidak mencegah anak-anak yang sedang bermain pasir ketika wisata ke tepi pantai atau di tengah padang pasir, karena itu merupakan waktu bersenang-senang dan bermain bagi mereka, bukan waktu untuk berdisiplin.

7. Mendidik anak tidak percaya diri dan merendahkan pribadinya

Hal ini banyak terjadi di kalangan bapak-bapak; padahal ini berpengaruh jelek terhadap masa depan anak dan pandangannya terhadap kehidupan. Karena anak yang terdidik rendah pribadi dan tidak percaya diri akan tumbuh jadi penakut, lemah dan tidak mampu menghadapi beban dan tantangan hidup, bahkan sampai ia menjadi dewasa.
Karena itu, seyogianya anak-anak dipersiapkan untuk dapat melaksanakan tugas agama dan dunia. Dan hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendidik mereka untuk memiliki rasa percaya dan harga diri, namun tidak sombong dan takabur; serta senantiasa diupayakan agar anak dikenalkan pada hal-hal yang bernilai tinggi dan dijauhkan dari hal-hal yang bernilai rendah.

Diambil dan disarikan dari buku:
alwajiz fi at-tarbiyah
Karya: Syaikh Muhammad Al Hasan

: MERAIKAN ANAK-ANAK KETIKA MEREKA PERGI DAN PULANG DARI SEKOLAH

Kerap terjadi di kalangan ibu bapa yang gagal memberi didikan dan tumpuan terhadap anak-anak yang bersekolah, terutamanya ketika mereka pergi ke sekolah atau pulang dari sekolah. Ibu bapa tidak meraikan anak-anak mereka ketika pergi dan pulang dari sekolah. Ini berpunca dari kesibukan mereka dalam menjalani tugas ataupun sememangnya mereka malas dan menganggap kerja-kerja seperti ini satu perkara yang kecil dan remeh.

Ibu bapa seharusnya menyedari kecuaian mereka meraikan anak-anak semasa pergi dan pulang dari sekolah. Sekiranya anak-anak dibiarkan pergi dan pulang tanpa ditanya dan diraikan, mereka akan berasa kurang ceria, kurang berminat dan adakalanya anak-anak boleh membohongi ibu bapa dengan mudah, bahkan kadang-kadang ibu bapa tidak tahu apa yang anak-anak mereka lakukan. Bagi anak-anak pra sekolah, lebih-lebih lagi yang baru masuk sekolah atau setahun bersekolah, tentulah anak-anak ini masih ada lagi perasaan takut untuk bersekolah. Ketika proses awal persekolahan inilah ibu bapa perlu mengambil perhatian terhadap anak-anak mereka.

Ibu bapa perlu memainkan peranan dengan melapangkan sedikit masa untuk meraikan pemergian dan kepulangan mereka dari sekolah. Perkara-perkara berikut mungkin boleh dijadikan amalan harian :

n  Mengejutkan mereka dari tidur dengan penuh kasih sayang

n  Menahan sabar terhadap sebarang kerenah mereka pada waktu pagi sebelum pergi ke sekolah.

n  Cuba untuk bersama-sama bersarapan pagi dengan mereka sambil menanyakan kemajuan persekolahan mereka.

n  Sama-sama bergerak ke muka pintu untuk melepaskan mereka pergi sambil bersalam-salaman dan berdakap-dakapan. Suasana berkasih sayang seperti ini amat penting terutama bagi mencairkan kerenah-kerenah negatif yang biasanya ditunjukkan pada waktu pagi. Kalau ada peluang cuba hantar sendiri anak-anak ke sekolah. Dalam perjalanan yang singkat itu banyak bentuk komunikasi yang dapat dilakukan. Banyak proses faham-memahami dapat diusahakan. Jadikan rutin seperti ini sesuatu yang menyeronokkan.

n  Raikan kepulangan mereka. Tanyakan apa yang berlaku di sekolah. Sajikan makanan mereka. Kalau berkelapangan, hadirkan diri sebentar untuk sama-sama menjamah makanan dengan mereka.

n  Sering ingatkan mereka tanggung jawab menyembah Allah S.W.T sebelum mereka melakukan perkara-perkara lain

Problem Kelekatan

Setiap mulainya tahun ajaran baru, banyak orangtua sibuk mendorong sang batita dan balita agar segera masuk sekolah. Ternyata masalah tidak berakhir setelah niat – nya kesampaian, karena sang batita dan balita kok malah rewel dan nangis terus….pengasuhnya harus kelihatan olehnya..kalau tidak, bisa panik…. Ada pula yang ngadat nggak mau sekolah …Ada pula yang susah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mojok terus dan membisu, kalau didekati guru malah ketakutan…..Sementara itu, ada pula orangtua yang pusing karena mendapat laporan guru kalau anaknya suka memukuli teman di kelas…..

Problem tersebut banyak dialami oleh anak-anak terutama pada saat mereka menghadapi situasi, lingkungan atau orang baru. Berbagai sikap dan perilaku aneh kemudian muncul sebagai reaksi terhadap ketidaknyamanan yang dirasakannya. Namun demikian, tidak setiap anak mengalaminya karena ada pula yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahkan bisa menjalin komunikasi yang interaktif dengan teman-teman serta gurunya. Sebenarnya, keberadaan problem tersebut bisa menjadi pertanda adanya masalah psikologis yang harus dicermati oleh orangtua agar bisa diketahui faktor penyebab dan strategi yang bisa dilakukan untuk menanganinya agar problem ini tidak sampai berlarut-larut dan mengganggu perkembangan psikologis dan kemampuan sosial sang anak.

Berawal dari Pola Hubungan Orangtua-Anak

Dari kaca mata psikologi, banyak masalah yang dialami anak-anak antara lain bersumber dari pola hubungan yang buruk antara orangtua dengan anak atau penyebab lain yang akan dibahas kemudian. Dalam artikel ini akan dibahas seputar pentingnya kelekatan hubungan yang positif antara anak dengan orangtua dan pengaruhnya bagi perkembangan psikologis sang anak.

Apakah yang disebut kelekatan ? Banyak orang takut jika kelekatan antara bayi dengan ibunya bisa membuat anak jadi “bau tangan”, manja, dan cengeng sehingga muncul nasehat-nasehat seperti : kalau anak menangis, biarkan saja…tidak usah ditanggapi…nanti juga diam sendiri…dia cuma minta perhatian…Latihlah disiplin…mereka sekali-sekali harus dikerasi supaya tidak manja….Jangan sering-sering memeluk anak, nanti dia bisa menjajah orangtuanya….Jangan sering-sering mencium anak, nanti dia jadi manja…Bayi jangan sering-sering dipeluk atau digendong…..taruh saja di tempat tidur biar tidak bau tangan…..

Begitulah nasehat-nasehat yang sering diperdengarkan pada calon ibu atau ibu-ibu muda kita. Nasehat tersebut kerapa kali membuat mereka jadi bingung karena pada prakteknya sering mengalami konflik batin, antara keinginan untuk memberi perhatian penuh dengan kekhawatiran kelak anak jadi manja atau tidak tahu diri.

Para ahli psikologi perkembangan dewasa ini makin menilai secara kritis pentingnya kelekatan (positif) antara anak dengan orangtua. Kelekatan adalah sebuah proses berkembangnya ikatan emosional secara resiprokal (timbal balik) antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua). Kelekatan yang baik dan sehat dialami seorang bayi yang menerima kasih sayang yang stabil dari kehadiran orangtua yang konsisten; sehingga bayi atau anak dapat merasakan sentuhan hangat, gerakan lembut, kontak mata yang penuh kasih dan senyuman orangtua.

Apakah manfaat dari hubungan kelekatan antara anak-orangtua ?

Rasa percaya diri

Perhatian dan kasih sayang orangtua yang stabil, menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain. Jaminan adanya perhatian orangtua yang stabil, membuat anak belajar percaya pada orang lain.

Kemampuan membina hubungan yang hangat

Hubungan yang diperoleh anak dari orangtua, menjadi pelajaran baginya untuk kelak diterapkan dalam kehidupannya setelah dewasa. Kelekatan yang hangat, menjadi tolok ukur dalam membentuk hubungan dengan teman hidup dan sesamanya. Namun hubungan yang buruk, menjadi pengalaman traumatis baginya sehingga menghalangi kemampuan membina hubungan yang stabil dan harmonis dengan orang lain.

Mengasihi sesama dan peduli pada orang lain

Anak yang tumbuh dalam hubungan kelekatan yang hangat, akan memiliki sensitivitas atau kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan sekitarnya. Dia mempunyai kepedulian yang tinggi dan kebutuhan untuk membantu kesusahan orang lain

Disiplin

Kelekatan hubungan dengan anak, membuat orangtua dapat memahami anak sehingga lebih mudah memberikan arahan secara lebih proporsional, empatik, penuh kesabaran dan pengertian yang dalam. Anak juga akan belajar mengembangkan kesadaran diri, dari sikap orangtua yang menghargai anak. Sikap menghukum hanya akan menyakiti harga diri anak dan tidak mendorong kesadaran diri. Anak patuh karena takut.

Pertumbuhan intelektual dan psikologis

Bentuk kelekatan yang terjalin, kelak mempengaruhi pertumbuhan fisik, intelektual dan kognitif serta perkembangan psikologis anak.

Faktor Penyebab Gangguan Kelekatan Pada Anak

Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak tidak mendapatkan kelekatan kasih sayang yang tulus, hangat dan konsisten dari kedua orangtuanya. Dan menurut ahi psikologi perkembangan, hingga usia 2 tahun adalah masa paling kritis. Erik Erikson, seorang bapak perkembangan berpendapat, masalah yang terjadi dalam masa-masa tersebut berpotensi mengganggu proses perkembangan psikologis yang sehat.

Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dengan orangtua/pengasuh

Perpisahan traumatik bagi seorang anak bisa berupa : kematian orangtua, orangtua dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu lama, atau anak yang harus hidup tanpa orangtua karena sebab-sebab lain

Penyiksaan emosional (dan pengabaian), penyiksaan fisik atau pun penyiksaan seksual

Setiap anak rentan terhadap penyiksaan emosional maupun fisik dari orangtua/pengasuh sebagai bagian dari pola asuh dan interaksi sehari-hari (lihat artikel: Penyiksaaan & Pengabaian Terhadap Anak). Sistem pendidikan tradisional yang seringkali menggunakan cara hukuman (baik fisik maupun emosional) untuk mendidik dan mendisiplinkan anak. orangtua sering bersikap menjaga jarak dan bahkan ada yang membangun image “menakutkan” agar anak hormat dan patuh pada mereka. Padahal cara ini malah membuat tumbuh menjadi pribadi yang penakut, mudah berkecil hati dan tidak percaya diri. Anak akan merasa bukan siapa-siapa atau tidak bisa berbuat apa-apa tanpa orangtua.

Sementara itu, penyiksaan seksual tidak mustahil terjadi pada anak, yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya, entah itu orangtua maupun anggota keluarga atau pihak lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena orang tersebut mengalami problem psikologis yang menyebabkan dirinya mengalami hambatan pengendalian dorongan seksual.

Pengasuhan yang tidak stabil

Pengasuhan yang melibatkan terlalu banyak orang, bergantian, tidak menetap oleh satu/dua orangtua, menyebabkan ketidakstabilan yang dirasakan anak, baik dalam hal “ukuran” cinta kasih, perhatian, kelekatan dan kepekaan respon terhadap kebutuhan anak. Anak jadi sulit membangun kelekatan emosional yang stabil karena pengasuhnya selalu berganti-ganti tiap waktu. Situasi ini kelak mempengaruhi kemampuannya menyesuaikan diri karena anak cenderung mudah cemas dan kurang percaya diri (merasa kurang ada dukungan emosional).

Sering berpindah tempat/domisili

Seringnya berpindah tempat membuat proses penyesuaian diri anak menjadi lebih sulit, terutama bagi seorang batita atau balita. Situasi ini akan menjadi lebih berat baginya jika orangtua tidak memberikan rasa aman dengan mendampingi mereka dan mau mengerti atas sikap/perilaku anak-anak yang mungkin saja jadi “aneh” akibat dari rasa tidak nyaman saat harus menghadapi orang baru. Tanpa kelekatan yang stabil, reaksi negatif anak (yang sebenarnya normal) akhirnya menjadi bagian dari pola tingkah laku yang sulit diatasi

Ketidakkonsistenan cara pengasuhan

Banyak orangtua yang tidak konsisten dalam mendidik anak. Misalnya, pada suatu saat orangtua menghukum anak dengan sangat keras, tapi di lain waktu (mungkin karena merasa bersalah) memenuhi semua keinginan anak (misal membelikan mainan mahal). Ketiadaan kepastian sikap orangtua, membuat anak sulit membangun kelekatan tidak hanya secara emosional tetapi juga secara fisik. Sikap orangtua yang tidak dapat diprediksi, membuat anak bingung, tidak yakin dan sulit mempercayai (dan patuh) pada orangtua.

Problem psikologis yang dialami orangtua

orangtua yang mengalami problem emosional atau psikologis sudah tentu membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi anak. Hambatan psikologis, misalnya gangguan jiwa, depresi atau problem stress yang sedang dialami orangtua tidak hanya membuat anak tidak bisa berkomunikasi dan ngobrol enak dengan orangtua, tapi membuat orangtua kurang peka terhadap kebutuhan dan masalah anak. Bahkan, orangtua sering terlalu sensitif dan emosional, menjadi lebih pemarah dan kurang sabar menanggapi perilaku anak-anak. Tidak jarang anak dimarahi atau dipukul, disiksa, atau diberi perlakuan yang sangat tidak proporsional dibandingkan dengan “kenakalan” yang dilakukan. Tindakan tersebut beresiko menghancurkan harga diri seorang anak.

Problem neurologis/syaraf

Ada kalanya, gangguan syaraf yang dialami anak bisa mempengaruhi proses persepsi atau pemrosesan informasi anak tersebut, sehingga ia tidak dapat merasakan adanya perhatian yang diarahkan padanya. Contohnya, ada kasus seorang bayi yang rewel terus dan restless karena dalam tubuhnya terdapat unsur cocaine, atau zat addictive yang sudah mempengaruhi pertumbuhan struktur syaraf otak sejak masa konsepsi (pembentukan jaringan). Problem ini bisa disebabkan masalah alkoholisme atau obat-obatan yang biasa dikonsumsi orangtua sebelum dan selama masa kehamilan; atau karena efek samping obat-obatan yang harus diminum anak akibat penyakit yang sedang dideritanya.

Dampak Problem Kelekatan

Anak-anak yang kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi akibat problem kelekatan yang dialami, berpotensi mengalami masalah intelektual, masalah emosional dan masalah moral dan sosial di kemudian hari.

Masalah Intelektual

1. Mempengaruhi kemampuan pikir seperti halnya memahami proses “sebab-akibat”

Ketidakstabilan atau ketidakkonsistenan sikap orangtua, mempersulit anak melihat hubungan sebab-akibat dari perilakunya dengan sikap orangtua yang diterimanya. Dampaknya akan meluas pada kemampuannya dalam memahami kejadian atau peristiwa-peristiwa lain yang dialami sehari-hari. Akibatnya, anak jadi sulit belajar dari kesalahan yang pernah dibuatnya.

2. Kesulitan belajar

Kurangnya kelekatan dengan orangtua, membuat anak lamban dalam memahami baik itu instruksi maupun pola-pola yang seharusnya bisa dipelajari dari perlakuan orangtua terhadapnya atau kebiasaan yang dilihat/dirasakannya.

3. Sulit mengendalikan dorongan

Kebutuhan emosional yang tidak perpenuhi, membuat anak sulit menemukan kepuasan atas situasi / perlakuan yang diterimanya, meski bersifat positif. Ia akan terdorong untuk selalu mencari dan mendapatkan perhatian orang lain. Untuk itu, ia berusaha sekuat tenaga, dengan caranya sendiri untuk mendapatkan jaminan bahwa dirinya bisa mendapatkan apa yang diinginkan.

Masalah Emosional

1. Gangguan bicara

Menurut sebuah hasil penelitian, problem kelekatan yang dialami anak sejak usia dini, dapat mempengaruhi kemampuan bicaranya. Dalam dunia psikologi, hingga usia 2 tahun dikatakan sebagai masa oral, dimana seorang anak mendapat kepuasan melalui mulut (menghisap – mengunyah makanan dan minuman). Oleh sebab itu lah proses menyusui menurut para ahli merupakan proses yang amat penting untuk membangun rasa aman yang didapat dari pelukan dan kehangatan tubuh sang ibu. Ada kemungkinan anak yang mengalami hambatan pada masa ini akan mengalami kesulitan atau keterlambatan bicara.

Memang, secara psikologis anak yang merasakan ketidaknyamanan akan kurang percaya diri dalam mengungkapkan keinginannya. Atau, kurangnya kelekatan tersebut membuat anak berpikir bahwa orangtua tidak mau memperhatikannya sehingga ia lebih banyak menahan diri. Akibatnya, anak jadi tidak terbiasa mengungkapkan diri, berbicara atau mengekspresikan diri lewat kata-katanya. Ada pula penelitian yang mengatakan, bahwa melalui komunikasi yang hangat seorang ibu terhadap bayinya, lebih memacu perkembangan kemampuan bicara anak karena si anak terpacu untuk merespon kata-kata ibunya.

2. Gangguan pola makan

Ada banyak orangtua yang kurang responsif / kurang tanggap terhadap tangisan bayinya. Mereka takut jika terlalu menuruti tangisan bayinya, kelak ia akan jadi anak manja dan menjajah orangtua. Padahal, tangisan seorang bayi adalah suatu cara untuk mengkomunikasikan adanya kebutuhan seperti halnya rasa lapar atau haus. Ketidakkonsistenan orangtua dalam menanggapi kebutuhan fisiologis anak, akan ikut mengacaukan proses metabolisme dan pola makan anak.

3. Perkembangan konsep diri yang negatif

Ketiadaan perhatian orangtua, sering mendorong anak membangun image bahwa dirinya mandiri dan mampu hidup tanpa bantuan siapa pun. Image itu berusaha keras ditampilkan untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. Padahal, dalam dirinya tersimpan ketakutan, rasa kecewa, marah, sakit hati terhadap orangtua, sementara ia juga menyimpan persepsi yang buruk terhadap diri sendiri. Ia merasa tidak diperhatikan, merasa disingkirkan, merasa tidak berharga sehingga orangtua tidak mau mendekat padanya (dan, memang ia juga merasa tidak ingin didekati)

Tanpa sadar semua perasaan itu diekspresikan melalui tingkah laku yang aneh-aneh, yang orang menyebutnya “nakal”, “liar”, “menyimpang”. Mereka juga terlihat suka menuntut secara berlebihan, suka mencari perhatian dengan cara-cara yang negatif, sangat tergantung, tidak bisa memperhatikan orang lain (tapi menuntut perhatian untuk dirinya), sulit mencintai dan menerima cinta dari orang lain.

Masalah Emosional

Anak akan sulit melihat mana yang baik dan tidak, yang boleh dan tidak boleh, yang penting dan kurang penting, dari keberadaan orangtua yang juga tidak bisa menjamin ada tiadanya, yang tidak dapat memberikan patokan moral dan norma karena mereka mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri, kesulitan dalam memenuhi kebutuhan emosional mereka sendiri, kesulitan dalam mengendalikan dorongan mereka sendiri. Akibatnya, anak hanya meniru apa yang dilihatnya dari orangtua dan mencari cara agar tidak sampai terkena hukuman berat.

Tidak jarang anak-anak tersebut memunculkan sikap dan tindakan seperti : suka berbohong (yang sudah tidak wajar), mencuri (karena ingin mendapatkan keinginannya), suka merusak dan menyakiti (baik diri sendiri maupun orang lain), kejam, dan menurut sebuah penelitian, mereka cenderung tertarik pada darah, api dan benda tajam.

Bagaimana Membangun Kelekatan yang Baik Dengan Anak ?

Kesiapan mental untuk menjadi orangtua Memiliki anak membawa implikasi yang luas, tidak hanya merubah peran dari suami / istri, menjadi seorang ayah / ibu. Ada komitmen dan tanggung jawab yang harus disadari dan dijalankan. Oleh sebab itu, perlu “hati dan pikiran” yang tenang untuk menjalani proses menjadi orangtua. Hati dan pikiran yang tenang, akan menciptakan rasa nyaman pada janin yang sedang dikandung; dan, jangan lupa bahwa ketenangan dan kesiapan hati tersebut mendorong keseimbangan hormon yang mendukung proses kehamilan yang sehat. Selain itu, kesiapan mental juga merupakan suatu kondisi yang diperlukan terutama untuk menghindari konflik dan ketegangan yang bisa muncul di antara suami-istri akibat perubahan yang terjadi. Kesiapan tersebut membuat masing-masing sadar dan berusaha menahan diri untuk tidak saling menyakiti, karena dilandasi kesadaran, bahwa kedua nya saling membutuhkan untuk saling menguatkan.

Ciptakan komunikasi yang hangat sejak dini

Berkomunikasi dengan anak tidak dimulai sejak anak lahir, melainkan sejak ia dalam kandungan. Sejak itu proses kelekatan pun dimulai. Berbicaralah padanya meski ia masih belum tampak secara lahiriah. Sapa lah dia, bernyanyilah untuknya dan pelihara/pertahankan kestabilan emosi. Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa seorang anak bisa memahami apa yang terjadi dalam diri sang ibu meski ia belum lahir. Hal itu bisa dibuktikan dari munculnya kecenderungan tertentu yang ada pada anak, misalnya pencemas, super sensitif atau pemarah – dihubungkan dengan persoalan yang sedang dihadapi sang ibu pada masa dan pasca kehamilannya.

Upayakan program menyusui

Proses menyusui, bukan hanya sekedar memberikan ASI yang berkualitas. Namun menyusui merupakan proses yang melibatkan dua belah pihak, bahkan tiga belah pihak : suami – istri dan anak. Kegiatan menyusui merupakan moment yang sangat ideal untuk membangun kontak batin yang erat, melalui kelekatan fisik dan kontak mata yang intensif. Proses ini membutuhkan “hati” yang tenang dan penuh kasih, karena produksi ASI akan terpengaruh oleh faktor fisik dan emosional. Oleh sebab itu, perlu kerja sama yang baik dan sikap saling memahami serta saling menghargai antara suami-istri agar segala persoalan yang terjadi bisa diselesaikan dengan baik tanpa menyebabkan ketegangan dan tekanan emosional yang mengganggu hubungan dengan anak.

Tanggapilah tangisan bayi / anak secara positif

Banyak orangtua yang menganggap bahwa tidak baik selalu menanggapi tangisan bayi, karena bayi perlu dilatih untuk tidak menjadi manja dan supaya jantungnya kuat. Memang, pada beberapa kasus pemikiran tersebut bisa diikuti, tapi tidak selamanya. Karena, hanya melalui menangis–lah seorang bayi dapat mengkomunikasikan ketakutannya, kelaparannya, kehausannya, keinginannya akan kehangatan, keinginannya untuk dibelai, rasa tidak enak badan, kedinginan, kepanasan dan rasa tidak enak yang lain. Jangan lupa, bayi adalah makhluk paling tidak berdaya dan tidak berdosa, tidak punya maksud buruk. Jadi, tangisannya adalah murni muncul dari kebutuhannya. Bayangkan, jika orangtua menunda respon terhadap ketakutannya, maka bayi akan merasa frustrasi. Dari situ lah ia juga belajar, bahwa orangtuanya tidak bisa memberikan jaminan akan kasih sayang, bahwa dirinya tidak terlalu berharga untuk diperhatikan kebutuhannya.

Upayakan kebersamaan dalam keluarga inti

Jaman sekarang, banyak keluarga yang menggunakan jasa baby sitter untuk mengasuh anak. Ironisnya, ada beberapa ibu rumah tangga yang tidak bekerja, tidak mempunyai kegiatan apapun kecuali arisan, ke salon dan shopping, mempunyai banyak asisten dan pembantu – namun anaknya sepenuhnya diurus oleh baby sitter. Tidaklah mengherankan jika kelak antara dia dengan anaknya tidak terlihat suatu kelekatan yang positif karena anaknya lebih nempel dengan ‘suster-nya. Situasi ini tidak mendorong proses perkembangan psikologis dan identitas yang sehat. Anak tetap melihat dirinya diabaikan oleh ibunya sementara sang ibu memperhatikan anak melalui berbagai barang dan mainan yang dibeli atau pun uang jajan yang berlebihan.

Kelekatan yang positif, membutuhkan kerja sama setiap angota keluarga. Ciptakan waktu kebersamaan yang konsisten, dipenuhi perasaan tenang, senang dan santai. Jika bepergian bersama, (dan jika memungkinkan), berlatihlah sejak dini untuk tidak menyertakan sang suster – agar anak terbiasa berada bersama dan dekat orangtua, agar anak lebih dapat belajar dan berkomunikasi dengan orangtua, agar anak bisa merasakan senangnya jalan-jalan dengan ‘mama-papa. Sementara itu, orangtua juga belajar dari anaknya, dan melihat hasil didikannya selama ini melalui sikap dan perilaku anak. Dengan demikian, orangtua bisa memahami perilakunya sendiri, mana yang perlu diubah dan mana yang perlu ditingkatkan

TANYA:

Saya ingin bertanya, bagaimana mengenali gejala apakah seorang anak dikategorikan sebagai anak yang hiperaktif atau tidak? Apa penyebabnya dan bagaimana mengatasinya. Terima kasih atas jawabannya.

Yohana Mei

JAWAB:

Ibu Yohana, tanda-tanda hiperaktivitas biasanya tidak berdiri sendiri. Pada umumnya hiperaktivitas menjadi bagian dari ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yang dicirikan dengan adanya :

  1. kesulitan memusatkan perhatian (perhatian mudah terganggu oleh suara-suara atau tanda-tanda, sulit memusatkan perhatian pada hal-hal detail seperti menyelesaikan suatu pekerjaan dan mempelajari hal-hal baru, sulit mengikuti instruksi secara utuh dan cermat, sering kehilangan benda-bendanya seperti mainan, pensil, buku karena lupa setelah meletakkannya, sering membuat kesalahan akibat kecerobohan)
  2. hiperaktivitas (selalu bergerak, tidak bisa duduk diam dan mendengarkan/mengikuti pelajaran sampai selesai, selalu menggerakkan kaki/tangan, menyentuh benda-benda yang ada di sekelilingnya, mengetukan pensil terus menerus ke meja, memanjat, restless, dan mudah sekali berganti aktivitas dalam sekejap)
  3. impulsivitas (sulit untuk mengendalikan reaksi sehingga mereka bertindak/bereaksi sebelum sempat memikirkannya; sulit menahan diri dan keinginan, menjawab sebelum yang bertanya menyelesaikan kalimatnya.

Namun, kita harus lebih jauh mempertanyakan keadaan tersebut :

  1. seberapa parah perilakunya dan sudah berlangsung berapa lama ? bagaimana perilakunya dibandingkan dengan anak seusianya ?
  2. apakah perilaku tersebut hanya muncul saat tertentu saja atau hanya di tempat-tempat tertentu saja?

Jika ternyata hiperaktivitas, impulsivitas dan inattentiveness tampak berat dan sudah berlangsung lama/sejak kecil, dan tanda-tanda tersebut terlihat setiap hari atau bahkan setiap saat, maka kemungkinan anak tersebut mengalami hiperaktivitas atau bahkan ADHD.

Kita harus berhati-hati sekali dalam mendiagnosa apakah anak tersebut mengalami ADHD – hiperaktivitas atau tidak karena dalam usia tertentu, setiap anak memang menunjukkan ciri-ciri hiperaktivitas, hambatan konsentrasi dan impulsivitas – namun tidak bisa dikatakan mengalami gangguan / ADHD. Apalagi jika si anak sedang mengalami masalah yang tidak bisa diungkapkannya atau dirumuskannya sendiri sehingga ia mengalami frustasi yang termanifestasi dalam sikap/perilaku seperti hiperaktivitas. Perlu diagnosa dari ahlinya secara langsung seperti dibawa ke psikolog, atau psikiater.

Sebab dari hiperaktivitas sejauh ini belum diketahui secara jelas, meski pernah ada penelitian yang menyebutkan bahwa ADHD berkorelasi dengan adanya defisiensi pada neurotransmitter tertentu di otak bagian bawah. Namun penelitian ini juga masih terus berlanjut sampai sekarang. Yang jelas, para ahli menyatakan bahwa ADHD tidak disebabkan oleh faktor lingkungan (baik itu lingkungan sosial maupun keluarga) namun lebih disebabkan faktor biologis.

Penanganan :

Sejauh ini para ahli melakukan penanganan terhadap anak-anak ADHD atau pun kombinasinya dengan cara :

1.       Medis / obat-obatan. Ada beberapa jenis obat-obatan yang memang dipergunakan untuk penderita ADHD untuk mengurangi simtom/gejala dan membantu anak tersebut untuk lebih bisa mengendalikan diri, memusatkan perhatian dan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Jika si anak mengalami keberhasilan dalam pekerjaan yang sederhana sekali pun (setelah mengkonsumsi obat tersebut), dapat meningkatkan harga diri dan rasa percaya dirinya. Sayangnya, obat-obatan ini tetap harus dipergunakan seterusnya meskipun ada beberapa dokter yang memperbolehkan untuk sementara libur mengkonsumsi obat tersebut (misal sedang liburan sekolah, jadi anak tersebut juga libur). Pasalnya, setiap obat pasti ada efeknya, seperti misalnya gangguan hati. Oleh sebab itu, dokter juga merekomendasikan agar anak-anak tersebut selalu cek up secara rutin dalam periode tertentu untuk mengontrol dan mencegah sejak dini hal-hal negatif sebagai efek samping pengobatan yang diberikan.

2.       Psikoterapi. Psikoterapi diperlukan baik oleh individu/anak yang bersangkutan, maupun orang tua (dan kakak/adik nya). Psikoterapi yang ditujukan pada anak ADHD dimaksudkan agar mereka semakin mempunyai kemampuan dalam mengekspresikan emosi secara tepat, bisa mengendalikan diri/emosi dan bisa mengendalikan perilaku. Cognitive-behavioral therapy merupakan salah satu metode untuk mengembangkan kemampuan dalam menghadapi, menyelesaikan dan memfokuskan diri pada tugas yang sedang dihadapi. Sedangkan social skill-training, diperlukan untuk mengajarkan perilaku sosial seperti berbagi permainan, minta tolong, cara mereaksi yang tepat terhadap sikap orang lain, mengenali ekspresi orang lain, mengendalikan ekspresi diri sendiri.

3.       Support group dan parenting skill-training. Orang tua dan anggota keluarga yang lain sebaiknya mengikuti program ini supaya bisa lebih memahami tidak hanya sikap dan perilaku anak, tetapi juga tahu apa yang dibutuhkan oleh mereka baik secara psikologis, kognitif (intelektual) maupun fisiologis. Jika si anak merasa bahwa orang tua dan anggota keluarga lain bisa mengerti keinginannya, perasaannya, frustasinya, maka kondisi ini akan meningkatkan kemungkinan anak tersebut dapat tumbuh selayaknya orang-orang normal lainnya.

Di bawah ini akan saya kemukakan beberapa model penanganan yang menurut beberapa ahli tidak diperlukan oleh anak-anak ADHD:

  • Biofeedback
  • Diet tertentu
  • Perlakuan khusus untuk alergi
  • Obat-obatan untuk menangani masalah pendengaran
  • Megavitamin
  • Penanganan chiropractic dan bone re-alignment
  • Penanganan untuk infeksi jamur
  • Latihan mata
  • Kaca mata warna khusus

Anak-anak yang mengalami hiperaktivitas, dengan penanganan yang intensif, dan didukung penuh oleh pihak keluarga secara konsisten….tidak mustahil bisa tumbuh selayaknya orang normal yang bisa menjalankan aktivitasnya seperti biasa dan berdikari.

Jika Anda masih mempunyai pertanyaan lebih lanjut, silahkan menanyakan langsung pada kami. Kami harap informasi ini dapat bermanfaat bagi Anda, Bu Yohana…

Self-Esteem Anak-anak dan Persepsi Mereka Terhadap Pola Komunikasi Orangtua-Anak Level dan kestabilan Self-Esteem (SE) pada anak berusia 11 – 12 tahun ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan hasil persepsi mereka terhadap berbagai aspek yang terkait dalam hubungan komunikasi orangtua – anak. Demikian hasil penelitian yang dilakukan Anita Brown, dkk dari University of Georgia. Dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki Self-esteem yang stabil, anak-anak dengan SE yang tidak stabil melaporkan bahwa orangtua mereka ternyata suka mengkritik, mengontrol secara berlebihan, dan kurang menghargai perilaku-perilaku positif yang dilakukan oleh anaknya. Sementara itu, anak-anak dengan Self-Esteem rendah melaporkan bahwa orangtua mereka lebih banyak mengkritik, mengawasi dengan ketat dan kurang menghargai perilaku-perilaku positif yang dilakukan anaknya dalam rentang waktu yang cukup lama dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki Self-Esteem tinggi. Sementara itu, ayah (orangtua) dari anak-anak yang memiliki Self Esteem tinggi dianggap memiliki kemampuan khusus dalam memecahkan masalah atau persoalan hidup.

Tantrum

Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hypermarket di Jakarta? Ibunya sudah berusaha membujuk Andi dan mengatakan bahwa sudah banyak mobil-mobilan di rumahnya. Namun Andi malah semakin menjadi-jadi. Ibunya menjadi serba salah, malu dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, ibunya tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Namun disisi lain, kalau tidak dibelikan maka ia kuatir Andi akan menjerit-jerit semakin lama dan keras, sehingga menarik perhatian semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orangtua yang kejam. Ibunya menjadi bingung….., lalu akhirnya ia terpaksa membeli mainan yang diinginkan Andi. Benarkah tindakan sang Ibu?

Temper Tantrum

Kejadian di atas merupakan suatu kejadian yang disebut sebagai Temper Tantrums atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun.

Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap “sulit”, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1.       Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.

2.       Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.

3.       Lambat beradaptasi terhadap perubahan.

4.       Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.

5.       Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.

6.       Sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku Tantrum, menurut tingkatan usia:

1. Di bawah usia 3 tahun:

  • Menangis
  • Menggigit
  • Memukul
  • Menendang
  • Menjerit
  • Memekik-mekik
  • Melengkungkan punggung
  • Melempar badan ke lantai
  • Memukul-mukulkan tangan
  • Menahan nafas
  • Membentur-benturkan kepala
  • Melempar-lempar barang

2. Usia 3 – 4 tahun:

  • Perilaku-perilaku tersebut diatas
  • Menghentak-hentakan kaki
  • Berteriak-teriak
  • Meninju
  • Membanting pintu
  • Mengkritik
  • Merengek

3. Usia 5 tahun ke atas

  • Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas
  • Memaki
  • Menyumpah
  • Memukul kakak/adik atau temannya
  • Mengkritik diri sendiri
  • Memecahkan barang dengan sengaja
  • Mengancam

Faktor Penyebab

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.

Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.

2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.

Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.

3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.

Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.

4. Pola asuh orangtua

Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum. Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan Tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.

5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.

6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).

Tindakan

Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa Tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode Tantrum pasti berakhir. Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan Tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti bahwa Tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan Tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia Tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut). Dengan bertindak keliru dalam menyikapi Tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.

Pertanyaan sebagian besar orangtua adalah bagaimana cara terbaik dalam menyikapi anak yang mengalami Tantrum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami mencoba untuk memberikan beberapa saran tentang tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi hal tersebut. Tindakan-tindakan ini terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:

  1. Mencegah terjadinya Tantrum
  2. Menangani Anak yang sedang mengalami Tantrum
  3. Menangani anak pasca Tantrum

Pencegahan

Langkah pertama untuk mencegah terjadinya Tantrum adalah dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa muncul Tantrum pada si anak. Misalnya, kalau orangtua tahu bahwa anaknya merupakan anak yang aktif bergerak dan gampang stres jika terlalu lama diam dalam mobil di perjalanan yang cukup panjang. Maka supaya ia tidak Tantrum, orangtua perlu mengatur agar selama perjalanan diusahakan sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar mobil.

Tantrum juga dapat dipicu karena stres akibat tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan anak. Dalam hal ini mendampingi anak pada saat ia mengerjakan tugas-tugas dari sekolah (bukan membuatkan tugas-tugasnya lho!!!) dan mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres pada anak karena beban sekolah tersebut. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sebaiknya anak pun didampingi orangtua, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu dengan memberikan petunjuk.

Langkah kedua dalam mencegah Tantrum adalah dengan melihat bagaimana cara orangtua mengasuh anaknya. Apakah anak terlalu dimanjakan? Apakah orangtua bertindak terlalu melindungi (over protective), dan terlalu suka melarang? Apakah kedua orangtua selalu seia-sekata dalam mengasuh anak? Apakah orangtua menunjukkan konsistensi dalam perkataan dan perbuatan?

Jika anda merasa terlalu memanjakan anak, terlalu melindungi dan seringkali melarang anak untuk melakukan aktivitas yang sebenarnya sangat dibutuhkan anak, jangan heran jika anak akan mudah tantrum jika kemauannya tidak dituruti. Konsistensi dan kesamaan persepsi dalam mengasuh anak juga sangat berperan. Jika ada ketidaksepakatan, orangtua sebaiknya jangan berdebat dan beragumentasi satu sama lain di depan anak, agar tidak menimbulkan kebingungan dan rasa tidak aman pada anak. Orangtua hendaknya menjaga agar anak selalu melihat bahwa orangtuanya selalu sepakat dan rukun.

Ketika Tantrum Terjadi

Jika Tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:

1.       Memastikan segalanya aman. Jika Tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama Tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama Tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.

2.       Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.

3.       Tidak mengacuhkan Tantrum anak (ignore). Selama Tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan Tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan Tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama Tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.

4.       Jika perilaku Tantrum dari menit ke menit malahan bertambah buruk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: “kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih”; “kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong”), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan “mama/papa sayang kamu”, “mama ada di sini sampai kamu selesai”. Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.

Ketika Tantrum Telah Berlalu

Saat Tantrum anak sudah berhenti, seberapapun parahnya ledakan emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Juga jangan diberikan hadiah apapun, dan anak tetap tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika Tantrum terjadi karena menginginkan sesuatu). Dengan tetap tidak memberikan apa yang diinginkan si anak, orangtua akan terlihat konsisten dan anak akan belajar bahwa ia tidak bisa memanipulasi orangtuanya.

Berikanlah rasa cinta dan rasa aman Anda kepada anak. Ajak anak, membaca buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orangtua Anda tetap mengasihinya.

Setelah Tantrum berakhir, orangtua perlu mengevaluasi mengapa sampai terjadi Tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orangtua yang salah merespon perbuatan/keinginan anak? Atau karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar, atau sakit? Berpikir ulang ini perlu, agar orangtua bisa mencegah Tantrum berikutnya.

Jika anak yang dianggap salah, orangtua perlu berpikir untuk mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin mengajar dan memberi nasihat, jangan dilakukan setelah Tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang tenang dan nyaman bagi orangtua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika Tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi Tantrum. Saat orangtua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal.

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa kalau orangtua memiliki anak yang “sulit” dan mudah menjadi Tantrum, tentu tidak adil jika dikatakan sepenuhnya kesalahan orangtua. Namun harus diakui bahwa orangtualah yang punya peranan untuk membimbing anak dalam mengatur emosinya dan mempermudah kehidupan anak agar Tantrum tidak terus-menerus meletup. Beberapa saran diatas mungkin dapat berguna bagi anda terutama bagi para ibu/ayah muda yang belum memiliki pengalaman mengasuh anak. Selamat membaca, semoga bermanfaat.(